Hal-Hal Penting Yang Wajib Dilakukan Kalo Travelling ke Yangon, Myanmar
Kalo kamu travelling ke Myanmar naik Air Asia dari Kuala Lumpur, kamu pasti akan mendarat di Yangon, sama seperti aku kemaren. Siapa tahu kamu butuh info tentang travelling ke Yangon, -apa aja yang bisa dilakukan selama di Yangon, transportasi umum dari Bandara Yangon ke downtown Yangon, makanan di Yangon, dan printilan-printilan lain semacam tukar uang rupiah ke kyat Myanmar, ambil ATM di Myanmar, SIM card lokal Myanmar, dan semacamnya- aku tulis di blog post ini.
Begitu
sampe bandara Yangon, aku disambut dengan bandara internasional yang
bersih dengan desain sederhana yang didominasi nuansa warna coklat.
Nah, begitu keluar dari imigrasi baru deh terasa kalo aku udah
bener-bener di Myanmar karena
hampir semua orang pake sarung di sini.Yangon International Airport, ATM, SIM card lokal, dan Grab
Hal
pertama yang aku lakukan begitu sampe di Bandara Yangon adalah cari
koneksi internet. Di bandara Yangon ada wifi gratis yang bisa aku
manfaatkan. Aku cukup daftarin email dan taadaa aku pun tersambung
pada dunia.
Hal
selanjutnya adalah cari ATM. Aku pilih ambil uang Kyat untuk
kehidupanku di Myanmar selama 8 hari ke depan dengan memanfaatkan
kemampuan kartu ATM BNI-ku. Aku ambil jumlah paling banyak yang bisa
aku ambil di ATM, 300,000 kyat. Biaya administrasinya sendiri 6,500
kyat untuk bank Myanmar ditambah Rp. 25,000 untuk BNI. Menurutku hal
ini jauh lebih efektif daripada tuker rupiah ke USD di Indonesia,
trus tuker USD ke kyat Myanmar. FYI, uang asing yang diterima di
money changer Myanmar cuma USD dan Euro.
Aku
juga mengganti SIM card Indonesiaku dengan SIM card lokal Myanmar
demi kepentingan selalu terkoneksi dengan internet. Aku pilih
provider Ooredoo, karena selain namanya familiar, harganya cendrung
lebih murah, dan para traveller yang pernah jalan-jalan ke Myanmar
juga merekomendasikan Ooredoo sebagai SIM card andalan di Myanmar.
Cek harganya di sini ya.
Pas
keluar bandara, aku lihat ada bus bagus yang berhenti persis di depan
bandara, tapi aku nggak tahu trayek-nya kemana. Hasil googling
kemaren-kemaren nggak ada info soal bus bandara di Bandara Yangon.
Kemungkinan ketersediaan bus bandara di Yangon ini hal yang baru
banget.
Aku
juga lihat ada plang Grab. Otomatis aku cek app Grab di hape. Yeay,
aku bisa order Grab dari Bandara Yangon menuju downtown Yangon,
tempat aku nginep. Iseng, aku bandingin harga Grab dengan harga taksi
di bandara. Tulisannya sih fixed price taxi, tapi tetep aja harus
tawar-menawar. Aku sih pilih yang pasti-pasti aja, pake Grab.
Nginep di hostel di downtown Yangon
Perjalanan
bandara ke downtonwn memakan waktu sekitar satu jam. Lumayan lama
dan jauh. Jalanan di Yangon cenderung mulus dan lebar. Ada beberapa
titik yang macet, tapi nggak separah Jakarta atau Bangkok sih
macetnya. Masih lebih mirip Semarang.
Nggak ada sepeda motor di Yangon |
Aku
nginep di Once in Yangon Hostel. Kalo di peta namanya The Tribe
Yangon. Sempet bikin bingung karena namanya beda, tapi pas cek
fotonya mirip. Ternyata mereka barusan ganti nama. Aku pesan lewat
booking(dot)com. Aku nginep di kamar mix dormitory. Harganya sekitar
9,000 kyat per malam.
Once in Yangon Hostel |
Once
in Yangon Hostel sendiri adalah hostel yang bersih dengan interior
lucu dan modern. Lokasinya ada di area Chinatown dan letaknya di
gedung tua. Jadi kalo dari luar penampakannya gedung tua, tapi
dalemnya modern. Meskipun dalam satu kamar bisa menampung 24 orang,
tapi nggak berasa sesak. Bagusnya lagi kami bisa early
check in.
Aku sampe sana sekitar jam 10 pagi dan kemaren nggak mandi seharian.
Jadi bisa mandi pagi hari itu adalah sebuah kemewahan.
satu porsi makan di warteg Yangon |
Selesai
mandi dan ganti baju bersih, kami keluar cari makan. Cuma jalan
beberapa langkah dari hostel aku udah nemu semacam warteg yang jualan
makanan lokal Myanmar. Wartegnya bersih banget dengan nuansa cat
warna putih - ijo. Pilihan lauknya banyak banget. Satu porsi diberi 2
piring nasi, jadi aku bisa berbagi sama temen. Ada lalapan juga yang
bebas ambil sendiri. Kalo mau minum air panas juga gratis. Sayangnya,
rasa lauknya berasa asem cuka semua. Aku sih nggak cocok, jadi rindu
warteg.
Keliling Kota Yangon dengan Circular Train
Hari
pertama di Yangon aku habiskan dengan nyobain Circular Train.
Circular Train ini alat transportasi orang lokal Yangon. Kalo di
Jakarta mungkin mirip sama commuter line.
rute circular train yang mengeliling Kota Yangon |
salah satu train station yang dilewati Circular Train |
Rute
Circular Train adalah melingkar mengelilingi Kota Yangon. Jadi kalo
naik Circular Train kita bisa lihat pinggirannya Kota Yangon. Satu
putaran menghabiskan waktu 3 jam.
Kondisi di dalam Circular Train |
Diminta nunggu di peron 5, tapi tulisannya dalam Bahasa Burma. Cek dari uang 50 kyat aja, ada terjemahannya. |
Selain
seru-seruan lihat pemanangan pinggiran Kota Yangon yang didominasi
dengan rumput, di dalam kereta aku uga bisa lihat kehidupan orang
lokal Yangon. Ada keluarga yang lagi piknik, ada orang yang pulang
kerja, ada bapak-bapak yang asik ngobrol. Di dalam kereta juga banyak
orang jualan, mulai dari jagung rebus, ubi, nanas, pir raksasa yang
katanya dari Korea, sampe kabel USB.
Keretanya bekas kereta JR-nya Jepang |
Kami
berhenti di Yangon Central Railway Station. Stasiunnya besar banget
dan bangunannya bergaya Eropa. Dari stasiun ini juga bisa naik kereta
antar kota di Myanmar. Sayangnya, kesannya kotor karena kurang
terawat.
lobi Yangon Central Railway Station |
Dari
Yangon Central Railway Station niatnya mau langsung ke Shwedagon
Pagoda. Pas banget hari udah sore dan sebentar lagi udah jam-nya
sunset. Kata orang sih waktu paling baik untuk ke Shwedagon Pagoda
itu saat sunset. Sayangnya pas kami keluar dari stasiun, pas hujan
turun. Daripada basah di Shwedagon Pagoda, kami belok haluan ke mal.
Hahaha.
Nonton bioskop di Yangon
Di
mal ada bioskop CGV yang kebetulan lagi memutar Crazy Rich Asians.
Saat itu bahkan film ini belum tayang di Indonesia. Daripada
nganggur, mending nonton aja.
Kalo nonton dapet free parking, sayang nggak bawa mobil. :p |
Kalo
di Myanmar harga bioskopnya tergantung tempat duduk. Kalo pilih duduk
di tempat terbaik -di tengah agak belakang- bayarnya 11,000 kyat.
Kalo nggak punya uang ya pilih yang harga 2,500 kyat aja, tapi
posisinya yang di pojokan dan paling depan. Kalo aku sih pilih yang
harga 4,000 kyat, posisi masih di tengah, tapi bukan yang paling
strategis.
CGV juga jualan fishcake ala korea lengkap dengan kuah kaldu. Boleh banget dibawa ke ruang teater. Kalo udah selesai filmnya, sampahnya dibawa keluar sendiri dibuang ke tempat sampah. |
Lucunya,
sebelum nonton kami wajib berdiri dan nyanyi lagu kebangsaan Myanmar
sementara di layar bioskop yang besar itu ada gambar digital bendera
Myanmar yang berkibar-kibar. Saat nonton, nggak ada tuh subtitle
di bagian bawah. Bahasanya juga tetep bahasa asli, bahasa Inggris,
nggak di-dubbing pake bahasa lokal. Nah pas pulang orang-orang
satu bioskop rame-rame ke depan buat foto bareng. Lucu ya.
Produk lokal Mymnar nemu di mal |
Kelar
nonton, aku sempat jalan-jalan di mal. Nggak sengaja nemu merk lokal
Myanmar yang jualan barang-barang yang berhubungan dengan smartphone
dan laptop yang namanya HOCO. Desain barangnya lucu-lucu dan harganya
cenderung afdorable. Aku aja sempet bawa pulang converter untuk SD card, colokan handphone, dan colokal tipe C.
Bobo di kasur bersih
Hari
itu bobo-ku nyaman banget karena ketemu kasur bersih. Dua hari
kemaren aku cuma bobo di airport soalnya. Meskipun karpet KLIA empuk,
tapi ya tetep namanya bobo di airport kan ya gitu ya. Eh,, perlu
nggak sih aku cerita pengalaman bobo di airport?
Nemu pecel, soto, es cendol
Besoknya.
di deket hostel aku nemu resto yang jualan makanan lokal Myanmar.
FYI, kami makan di restonya udah di jam makan siang ya, karena
sarapan di Once In Yangon Hostel udah cukup bikin kenyang.
Sesuai arah jarum jam: es cendol, mohinga, es cendol, tea leaf salad. |
Kami
keluar agak siangan karena bangunnya juga siang. Jalan kaki dikit,
kami ketemu resto yang jual makanan lokal itu. Restonya bagus banget,
desainnya cenderung mewah, dan bersih banget, tapi harganya
bersahabat. Kami pesen tea leaf salad dan mohinga. Tea leaf salad itu
mirip pecel, mohinga mirip soto. Untuk minumnya aku pesen es
cendol-nya Myanmar. Meskipun mirip tapi rasanya bedaaa.
Jalan kaki ke Bogyoke Market dan Sule Pagoda
Puas
makan, kami lanjut jalan-jalan. Literally jalan kaki ya. Kami jalan
ke arah Sule Pagoda. Ternyata kami melewati Bogyoke Market, salah
satu tempat wajib kunjung di Yangon. Kami mampir untuk lihat barang
seni yang dijajakan di sana. Kebanyakan penjualnnya adalah penjual
kain, terutama kain longyi. Harganya pun bervariasi, ada harga ada
rupa.
Bogyoke Market tampak luar |
Puas
di Pasar Bogyoke, kami lanjut jalan kaki sampe ke Sule Pagoda. Jalan
kaki di Yangon ini lumayan seru. Kalo lewat area Chinatown dan
sekitarnya kami harus berbagi jalan dengan sesama pejalan kaki dan
mobil di satu jalan sempit yang ramai. Sebenernya jalannya nggak
sempit sih, tapi di kanan kiri jalan ada banyak banget orang jualan,
entah makanan, entah buku, entah payung, pokoknya semua ada.
Burung dimana-mana |
Kebetulan
pas aku di sana, pas mulai musim hujan. Jeleknya nih, kalo habis
hujan jalan cenderung becek. Jadi paling kalo jalan-jalan di Yangon
paling enak pake sandal jepit. Ntar kalo kakinya kotor, tinggal
dicuci.
Sule Pagoda ini juga unik. Letaknya di tengah-tengah gitu. Kalo difoto dari jalan raya bagus banget. Spot paling seru untuk dapat foto Sule Pagoda yang di tengah jalan adalah dari jembatan penyebrangan di dekat Sule Plaza.
Momen sepi di Sule Pagoda yang langka |
Sule
Pagoda juga jadi titik pemberhentian sejumlah bus dalam kota Yangon.
Hal ini akan aku bahas di bagian kedua tentang Yangon aja ya, karena
di hari pertama dan keduaku di Yangon aku nggak pernah naik bus.
Transportasi umum andalanku di Yangon adalah Grab.
Shwedagon Pagoda
Aku
pun naik Grab dari Sule Pagoda ke Shwedagon Pagoda. Thank God for
Grab. Berhubung ada fitur chat yang bisa auto translate jadi
komunikasi lancar. Dari sekian banyak Grab yang aku naiki, sopirnya
nggak ada yang bisa ngobrol pake Bahasa Inggris lho.
Tiket masuk Shwedagon Pagoda |
Pinjem longyi,, lumyan buat foto OOTD |
Kami
langsung ketahuan kalo orang asing karena nggak bisa Bahasa Burma.
Kami pun diturunin di pintu kedatangan untuk turis internasional.
Akibatnya kami harus bayar harga turis internasional dong, padahal
kalo orang lokal masuk Shwedagon Pagoda gratis.
Details |
Untung sore,, nggak silau lihat emas gedhe banget |
Berhubung
celanaku ada belahannya, meskipun panjang, aku diharuskan sewa
longyi. Longyi-nya desainnya modern dengan motif polkadot warna biru.
Aku mesti deposit dulu 3,000 kyat trus dibalikin pas aku ngembaliin
longyi. Shwedagon Pagoda sendiri merupakan pagoda terbesar di Yangon.
Kubahnya bener-bener dilapis emas. Untung aku ke sana pas udah sore,
jadi pas lihat ke atas nggak silau dan kaki nggak kepanasan.
Terminal dan bus malam VIP yang penampakannya nggak banget
Malam
itu kami lanjut ke terminal bus di ujung kota Yangon untuk lanjut
jalan-jalan ke Mandalay. Pas nyampe terminal bus, sempat kaget karena terminalnya jelek banget dengan alas tanah yang berdebu. Apalagi pas diturunin sama sopir Grab di depan kantor bus-ya. Duh, ini kantornya jelek banget.
Selain ngangkut penumpang, ngangkut kulkas juga |
Penampakan bus yang kumuh |
Ternyata bus-nya juga nggak sesuai ekspektasi. Aku
pikir karena udah pesen yang VIP, jadi dapetnya bus bagus banget. Eh,
ternyata yang istimewa cuma di pengaturan seat yang 2-1, tampilannya
tetep tampak kumuh. Ya gini deh pilih VIP tapi di harga paling murah.
Nasib.
Tapi hari-hari awalku ini masih lebih mendingan lho. Kalo kamu tahu cerita perjalananku di Mandalay dan Inle Lake, lebih ngenes lagi. Hiks.
Unik ya mba sampe tulisan mereka nggak aku ngerti hihi tapi menarik banget klo berpetualang ke negeri yg tulisannya ga ngerti, tfs lho
BalasHapusHahaha.
HapusIya mbak,, apalagi tulisannya nggak ada tulisan latinnya, jadi bener-bener nggak mudeng artinya apa.
Tulisannya lengkaaappp dan pasti jadi panduan traveler yang baru pertama kali ke Yangon. Mulai dari transportasi, hotel, makan, hinggan landmark. Greaaaaat!
BalasHapusMakasiiih
HapusSuka sama tulisannya. Btw kulinernya sepertinya enak sekali. Hehehe
BalasHapusMakasih mbak.
HapusUntuk kuliner yang di warteg di aku rasanya kurang cocok, kalo yang di resto lumayan seger mbak.
Seru pengalamannya... Nasionalisme di sana tinggi ya, mau nonton aja nyanyi lagu kebangsaan dulu hohoho...
BalasHapusHahaha
Hapus