Pengalaman Ikut Kelas Virtual Menulis di Masa Pandemi
Ketika semua orang bisa melakukan perjalanan, apakah cerita perjalanan masih diperlukan?
Kalimat ini adalah kalimat pembuka dari sesi kelas virtual menulis perjalanan yang aku ikuti beberapa waktu lalu. Yes, aku ikut beberapa kelas virtual yang ada karena pandemi.
Pandemi Covid-19 yang memisahkan manusia satu dan lainnya secara fisik, malah membuat jarak semakin tak berarti. Meski secara fisik berjarak, tapi banyak hal yang bisa dilakukan bersama-sama dengan bantuan teknologi, seolah-olah jarak fisik bukanlah halangan. Salah satu contohnya adalah kelas virtual.
Di masa pandemi ini, aku berkesempatan ikut kelas virtual menulis. Dua kelas virtual menulis yang aku ikuti, nggak akan mungkin aku datangi kalau virus Corona nggak menyerang dunia.
Nggak pernah terbayang dalam benakku aku bisa duduk satu kelas dengan manusia-manusia luar biasa dalam bidangnya. Aku duduk satu kelas dengan penulis yang karyanya sudah dijadikan beberapa buku dan bukunya difilmkan. Aku duduk satu kelas dengan penyanyi kenamaan yang lagunya didengar ribuan kali. Aku duduk satu kelas dengan editor banyak judul buku laris. Yang paling seru, aku duduk di kelas yang pengajarnya adalah penulis favoritku.
Rasanya seperti berenang di kolam uang Paman Gober.
Aku menduga, kalau pandemi nggak merajai dunia, penulis favorit mungkin akan mengadakan kelas menulis di salah satu ruang di ibukota. Berhubung sebagian besar peserta workshop kemungkinan besar senggang di akhir minggu, jadwal workshop semestinya dilaksanakan di akhir minggu, yang bagi aku malah jadi hari kerja. Pergi ke ibukota juga jadi pe-er tersendiri buat aku. Selain bayar untuk materi workshop, aku juga mesti bayar tiket untuk transportasi dan akomodasi menginap selama di ibukota. Pikir dua kali deh.
Balik lagi ke kelas menulis, masih ingat kan kalimat pembuka yang aku tulis di atas? Kalimat nylekit* nan menggigit itu bikin nafsu belajar menulis cerita perjalanan keok. Ketika sudah banyak yang bisa jalan-jalan, ngapain lagi bikin cerita perjalanan?
Tapi ada suara kecil di kepala berucap,
"Kita nulis catatan perjalanan buat dokumentasi pribadi. Di tahun-tahun mendatang, kenangan-kenangan perjalanan dalam bentuk tulisan jadi kenang-kenangan yang nggak terlupakan."
Ah iya. Dokumentasi tentang perjalanan, dalam bentuk tulisan, bila dibaca di kemudian hari jadi sesuatu yang berarti. Contohnya seperti yang terjadi hari ini, di masa pandemi, --masa di mana tubuh fisik disarankan untuk nggak pergi-pergi--, membaca tulisan perjalanan jadi hiburan tersendiri.
Foto dari perjalanan ke Myanmar, masa di mana kehabisan uang di Inle Lake yang jaraknya 8 jam perjalanan dari bandara untuk pulang |
Tapi kalau catatan perjalananmu bisa dinikmati orang lain, bisa jadi hiburan, bisa jadi inspirasi, bisa jadi bahan pertimbangan untuk yang membaca, bukannya lebih baik ya?
Inget lagi dong proses menulisnya. Nggak gampang kan? Kamu mesti duduk berjam-jam, mengingat perjalanan yang udah jadi kenangan, milih foto mana yang cocok untuk tulisan, mengubah kenangan abstrak menjadi lebih berbentuk, bentuk tulisan.
Buat aku, membaca dan mendengar cerita perjalanan selalu meningkatkan hormon dopamin, hormon yang membuat bahagia. Aku merasa semangat, happy, dan imajinasiku menjadi liar. Seperti yang terjadi hari itu, --setelah kalimat pertama di kelas virtual menulis cerita perjalanan yang membuat down--, cerita perjalanan dibacakan.
Cerita perjalanan Agustinus Wibowo --pengisi materi di kelas virtual menulis cerita perjalanan--, saat sedang berjalan-jalan di Asia Timur menggugah semangatku untuk kembali belajar menulis. Aku selalu suka tulisan mas Agus. Tulisan perjalanannya terasa berbeda dari penulis perjalanan kebanyakan. Aku mengira hal itu disebabkan karena negara tempat dia melakukan perjalanan adalah negara yang bukan jadi incaran turis pada umumnya.
Aku membaca dan menikmati buku Titik Nol, Garis Batas, dan Selimut Debu. Aku merasa ikut mas Agus bertualang di negeri perang. Aku bahkan rindu dengan lanjutannya, yang masih dalam proses penulisan katanya. Semua ceritanya punya obyek, orang yang diceritakan di tempat mas Agus melakukan perjalanan.
Hari itu aku baru sadar, manusia-manusia yang ditemui mas Agus dalam perjalanannya membentuk cerita yang menarik. Dan hidup.
Ketika kita melakukan perjalanan, kita akan mendatangi tempat yang baru, yang asing. Di perjalanan, kita diajak untuk mengalami kebudayaan. Dengan mengalami kita belajar tentang kebudayaan. Melalui kebudayaan yang datang dari manusia, ada pesan untuk manusia juga.
Foto dari cerita perjalananku ke Siem Reap yang lebih banyak bercerita tentang manusia yang kutemui daripada tentang ritual jalan-jalannya. |
Sama seperti menulis fiksi, penulisan cerita perjalanan membutuhkan manusia sebagai obyek. Obyeknya tentu saja manusia yang kita temui di perjalanan. Manusia menggerakan peristiwa. Peristiwa menjelaskan sebab dan akibat. Dari sana kita bisa mengambil kesimpulan yang akhirnya menjadi pesan bagi pembaca.
Peristiwa ini jadi cerita. Cerita adalah hal asyik untuk dibaca dan dibicarakan. Proses menulis cerita perjalanan, yang kemudian disebut menulis non-fiksi kreatif hampir sama seperti proses menulis fiksi. Inti cerita perjalanan adalah cerita. Jalan cerita yang menarik, jalan cerita yang menjelaskan karakter si pelaku, jalan cerita yang memikat hati dan bikin kita rela menghabiskan waktu sampai ke halaman akhir.
Kalau di kelasnya mas Agustinus Wibowo aku belajar menulis non fiksi kreatif, di mana aku belajar menuliskan fakta dan kebenaran dengan cara yang asyik, di kelas yang lain aku belajar menulis cerita fiksi, di mana imajinasi dibebaskan melayang tinggi sesuka hati.
Semuanya berawal dari ibu yang ternyata juga main instagram. Ibu terhubung dengan akun Dee Lestari dan membaca post tentang kelas menulis. Ibu menyarankan aku untuk ikut tiga kelas virtualnya. Ibu tahu aku selalu membaca tulisannya mbak Dee Lestari. Seri Supernova, Madre, Filosofi Kopi, Aroma Karsa adalah buku wajib baca buat aku. Tulisan mbak Dee ini selalu memikat, semacam ada pelet yang lengket.
Pertemuan pertama di kelas mbak Dee sangat menggugah minat. Menulis fiksi terasa menyenangkan sekali. Kata mbak Dee, cerita yang bagus adalah cerita yang tamat. Hal pertama yang bisa kamu lakukan ketika ingin menulis adalah membuat jadwal kapan tulisanmu akan selesai.
Aku suka dengan bagian mbak Dee mengubah persepsi. Kata birthdate, yang diartikan sebagai tanggal kelahiran, menggantikan kata deadline, yang diartikan sebagai garis mati. Kata positif seperti birthdate, tanggal di mana karya baru lahir lebih memberi energi positif alih-alih kata mati (deadline). Pertemuan pertama membawa sukacita.
Di kelas kedua, kepala mulai pening dan berasap. Sembari mengingat materi dari kelas kedua, kepalaku mulai pening mikir njelimet**-nya materi kelas kedua. Intinya adalah tentang cerita. Cerita adalah peristiwa. Yang menggerakan karakter dari si tokoh, manusia. Sebelas dua belas dengan materi menulis non-fiksi kreatif ya.
Untuk menulis manusia, aku sebaiknya memahami manusia. PR yang berat. Memahami diri sendiri aja masih jadi PR. Haha.
Kelas ketiga makin bikin otak berasap. Materi tentang riset dan editing bikin geleng-geleng. Sama seperti materi menulis cerita perjalanan, ada bagian riset juga di sana. Riset sebelum melakukan perjalanan, riset saat perjalanan, dan riset pasca perjalanan saat proses menulis itu sendiri.
Materi menulis non-fiksi kreatif dan menulis fiksi saling melengkapi. Aku menyimpulkan, tulisan yang menarik adalah tulisan yang bercerita. Tulisan perjalanan adalah tulisan tentang tempat yang punya cerita. Dalam satu cerita utuh biasanya tiga babak; set up, conflict, dan resolution.
Kalau resolution dalam cerita fiksi merupakan penyelesaian konflik, dalam cerita perjalanan ada kontemplasi. Kontemplasi adalah kesimpulan dari cerita perjalanan. Pelajaran apa yang bisa didapat dari perjalanan itu sendiri. Kontemplasi ini berisi pesan dari perjalanan itu sendiri.
Di titik akhir tulisan ini, aku menyimpulkan menulis adalah pekerjaan berat. Tapi kalau kata mbak Dee, untuk membuat ide datang, dan kembali datang, kamu harus punya perilaku yang membuat ide rela datang ke kepalamu. Kalau kamu ingin tetap melakukan perjalanan dan menulis cerita perjalanan, kamu harus lebih jeli menggali setiap makna dalam perjalanan itu sendiri.
Cerita perjalanan dari Jepang yang berisi opini, yang kurang menyajikan fakta di lapangan, Ada beberapa yang menentang karena ternyata tulisanku kurang netral dan kurang fakta perjalanan. |
Jadi, di masa ketika semua orang bisa melakukan perjalanan, menulis cerita perjalanan semakin menantang.
Dinilint
*nylekit = menyentuh hati, dengan konotasi negatif
**njlimet = rumit
Wah menarik kelasnya ya. Semoga suatu saat bisa punya waktu untuk ikut kelas kelas virtual seperti ini. Selama WFH, tugas kantor plus tugas luar kantor banyak banget numpuk, serta meeting meeting virtual yang jumlahnya sudah seperti resep obat (2x1, 3x1 atau malah 4x1).
BalasHapusSemoga semakin semangat menulis kisah perjalanannya Dini, semakin semangat travelling dan semakin semangat berkarya
Wah semangat untuk WFH-nya ya mas Cipu!
HapusTerima kasih buat semangatnya. Aku sendiri masih belajar eksplorasi tentang tulisan & cerita perjalanan itu sendiri yang luas banget ranahnya.
Halo Mbak Dini,
BalasHapusSalah satu 'hal menyenangkan' di balik Pandemi ini adalah jadi banyak sekali kelas virtual yang bisa diikuti dari jauh. Semoga setelah pandemi berakhir, hal ini menjadi new normal.
Saya menyukai cerita perjalanan, karena selain menyenangkan juga bisa menjadi panduan kalau suatu hari saya berkesempatan berkunjung ke tempat yang sama seperti di cerita itu. Saya bersyukur banyak menemukan traveler blog, sehingga menambah wawasan serta wishlist tentang suatu lokasi wisata.
Yes, selalu ada sisi positif dari sesuatu yang buruk ya.
HapusAku juga berharap kelas virtual tetap ada, jadi belajar nggak kepentok lokasi.
Semoga wishlist-nya kesampaian ya.
Keren banget Say, bisa ikut kelasnya penulis yang sudah superb expert. Salah satu berkah ada pandemi, ya :)
BalasHapusRasanya selalu menenyangkan tiap membaca kisah perjalanan. Meksipun tempatnya sama, selalu ada kisah menarik yang berbeda :)
sisi positif pandemi, bisa belajar langsung dari idola :D
Hapusasik bgt bisa ikut kelas yg dibimbing langsung oleh ahlinya.. aku kayanya pernah liat info kelas menulis ini di linimasa media sosial tapi lupa detilnya.. lain kali kalau ada lagi, pgn juga ikutan..
BalasHapusdari postinganmu aja dapat sedikit pencerahan, apalagi kalau ikut kelasnya langsung yaa. menarik!!!!!
-traveler paruh waktu
Seru emang kalo belajar dari yang berpengalaman dan udah terbukti tulisannya memikat banyak orang.
HapusYang ngadain Patjar Merah bang.
Thank you udah berbagi poin2 kelasnya di sini mbak. Jadi ikut belajar nih. Suka sama point mbak Dee tentang deadline diganti birthdate jadi lebih semangat nulis ya kalau gitu. Seperti nungguin detik2 kelahiran anak.. hehe.
BalasHapusIya mbak. Emang digambarin punya karya itu kaya proses melahirkan. Ada masa-masa kontraksi juga yang emang diperlukan untuk melahirkan.
Hapusmba dini... terimakasih sudah menulis ttg pelatihan menulis bareng mas Agustinus Wibowo. dia adala penulis favorit saya jga, kemarin liat info pelatihan menulis ini tp saya nggk bisa ikut, sy pikir sy melepaskan kesempatan yg kapan mungkin akan datang lg, baca tulisan mba dini ini sangat bermanfaat banget, akan saya simpan boleh yaa :)
BalasHapusBoleh.
HapusAku juga nulis di sini sebagai catatan buat diri sendiri. Syukur kalo bisa bermanfaat juga buat mbak.
Wah, pasti asyik ya mbak, bisa bergabung dengan kelas menulis bersama para ahli. Suatu kehormatan tersendiri dan ilmunya pasti mahal hehe.
BalasHapusSetuju bahwa tujuan menulis perjalanan atau tema apa saja, salah satu tujuannya sebagai dokumentasi pribadi. Bisa jadi kenang-kenangan di masa tua nanti, jadi bahan cerita kepada anak cucu, ini loh dulu nenek pernah ke tempat ini. Terus waktu ke tempat ini nih, dulu nenek kenal pertama sama kakek, terus pedekate deh. Nah kalau yang di sini ... bla bla bla ... :)
Iya ya,, ntar kalo tua cerita ke cucunya,, baca aja blog nenek,, banyak cerita perjalanan saat nenek muda sampe tua di sana :D
HapusAhh bahagianya bisa ikut kelas menulis secara virtual ya. Dan meski pandemi Lintang tetap produktif mengisi waktu dengan ikut kelas online. Aku padahal juga baca dan udah niat mau ikut kelas mas Agustinus, tapi kelupaan daftar.
BalasHapusDan dari tulisan ini aku ikut menemukan kota kata baru yang positif tentang batas waktu menulis karya. Birthdate, hari ketika karya baru lahir, noted banget. Makasih sharing nyaa
Iya Bu Wati, dulu pernah pengen ikut kelasnya mas Agus tapi tanggalnya nggak cocok. Eh kok pandemi gini malah bisa ikut kelas virtualnya. Kesempatan berharga.
HapusSemoga sharingnya bermanfaat yaaa.
Lucky you say bisa ikutan virtual class td penulis terkenal dan makasih banyak ya udah sharing dimari. Aku pun masih tahap belajar bikkn tulisan perjalanan yg mengalir dan enak dibaca macam tulisan agustinus wibowo
BalasHapusYes, I take the opportunity untuk duduk di kelas virtual ini mbak. Mbak Muna tulisannya enak lho. Ilmu emang harus diasah terus ya,,, belajar emang nggak bakal berhenti.
HapusSelama pandemi ini aku malah jarang ikut kelas. Lebih banyak baca buku hahahahaha. Entahlah, mungkin efek hampir tiap hari mengurusi kuliah daring membuatku malas ngapa-ngapain
BalasHapusHaha,, mata jereng karena lihat layar terus-terusan yaaa.
HapusDi awal-awal pandemi juga sebel karena lebih banyak lihat layar. Tapi lama-kelamaan seru juga, jarak bukan jadi soal.
Wah menyenangkan banget yaa bisa ikut kelas virtual di saat2 kyk gini sama idola2 di bidangnya ya, Din. Pasti banyak cerita seru dan kisah2 inspiratif yg bisa bikin kita tetap bisa menjaga semangat menulis kisah perjalanan
BalasHapusThanks to corona. Haha
HapusMasih perlu lah Lint itu tulisan perjalanan. Aku suka banget loh baca tulisan tentang traveling meski aku sendiri jarang traveling. Seakan ikut serta jalan-jalan ke tempat yang dikunjungi penulisnya. Kalau cara penulisannya enak dan memikat, tentu ga bakalan mau berpaling dari tulisannya itu kan.
BalasHapusIntinya tulisannya memikat yaaa.
HapusLantas teringat sama tulisanku yang ngga tamat-tamat. Setuju sama mba Dee harusnya kita menentukan waktu kapan akan selesai cerita kita semacam target gitu ya, biar ngga ngawang-ngawang.
BalasHapusAyo mbak,, ditamatkan
HapusIndeed. Tantangan lainnya, menuliskan sisi-sisi yang tidak atau belum diketahui umum. Sisi yang membuat tulisan perjalanan kita bisa berbeda.
BalasHapusIya,, sudut pandang yang jeli dalam menulis cerita perjalanan emang sangat berpengaruh ke tulisan
HapusSeru banget kelas-kelas menulis virtualnya, Mbak Dini. :)
BalasHapusSaya tertegun baca paragraf Mbak Dini tentang Dee Lestari yang bilang bahwa cerita yang bagus itu adalah cerita yang tamat. Secara nggak langsung, itu berarti sedari awal seorang penulis mesti sudah punya kerangka utuh dalam kepala. Bikin saya inget pas bikin skripsi dulu. Begitu data selesai dianalisis, jadi makin ngebut nulisnya. Hehehe.
Iya bener. Penulis semestinya punya peta peristiwa dari awal. Nanti sambil jalan bisa ditambahkan dan dikurangi, tapi udah jelas peta dan jalannya.
HapusDunia dari sudut pandang seorang traveller ya😁. Pengen juga bikin cerita perjalanan tapi ngenes, jarang banget jalan-jalan. Mungkin saya bisa bikin cerita perjalanan hidup aja kali.
BalasHapusBtw saya juga suka novelnya mbk dee, supernova yang petir. Dulu sempet pengen jadi penulis fiksi juga, tapi belom kesampaian.
Jadi pengen ikut kelas virtual juga😁
Bisa mbakkk,, perjalanan kan tentang berjalan dari satu titik ke titik yang lain.
HapusMakasih ya udah ikutan baca pengalaman aku ikut kelas virtual.
Di masa covid ini emang banyak kelas2 virtual gitu. Pengen ikut, tapi entah kenapa waktunya selalu ga cocok. Walaupun di rumah, ada aja yang dikerjain 😭
BalasHapusAku juga melewatkan beberapa kelas virtual atau sejenisnya kalo waktunya nggak cocok. Thank God dua kelas ini aku bisa ikut.
Hapusseru pastinya dan menambah ilmu juga di kelas ini. iya bener mba din, kalau kondisi nggak sedang pandemi seperti ini, kelas online juga jarang aku ambil.
BalasHapussejak pandemi jadi banyak dibukan kelas kelas online untuk nambah skill dan beberapa aku ikutin asal waktunya pas.
karya-karya mas agustinus memang keren parah, bisa membawa pembaca berimajinasi
iya nih, pandemi membawa rejeki, rejeki dapet kesempatan untuk nambah ilmu dari pakarnya.
HapusIkutan kelas virtual ialah salah pemantik untuk tetap produktif. Makin semangat kala pengajarnya seorang yang kita idolakan. Mari terus menulis mbak :)
BalasHapus& lagi aku suka penasaran dengan cerita di balik karya favorit aku. Ini salah satu alasan kenapa ikut kelasnya Mas Agus dan Mbak Dee sebenernya.
HapusAku sempat menyimak beberapa penulis beken yang berbagi pengalaman seputar proses pembuatan buku mereka. Menarik banget! tapi yang aku simak hanya kulitnya aja karena kalau mau proses lebih rinci mesti bayar. Tertarik sih, tapi setelah menimbang (baca: intip dompet) jadinya urung dilakukan hehehe. Kere!
BalasHapusHahaha,, karena cerita lebih rinci itu terbatas ya,, semoga dompet om nduut sesuai dengan namanya,, genduuut
HapusItulah kenapa tulisan yang aku buat kebanyakan bukan tulisan informatif seperti daftar tempat wisata, budget, dan itinerary, namun cerita naratif yang menceritakan kisahku. Tempatnya boleh sama, namun cerita masing-masing pejalan akan berbeda.
BalasHapusKedua, tetap ada sebagian orang yang suka riset dulu sebelum traveling, dan personal blog adalah salah satu jujugan mereka karena dipandang lebih jujur.
Semua orang bisa jalan-jalan, tapi nggak semua bisa mengabadikan.
Eh tapi aku dapet info juga lho baca tulisanmu.
HapusAku sih dari dulu kalo mau travelling selalu baca-baca pengalaman orang lain, buat bahan referensi, tapi ya nanti dalam prosesnya bisa berubang-ubah sesuai kata hati. Hahaha.
Aku jadi merasa gak punya apa-apa. Gak pernah ikut kelas menulis. Semoga kelak bisa ikut kelas keren seperti ini.
BalasHapusAku juga baru-baru ini kok ikutan kelas menulis. Thanks to pandemi. Ahahaha.
HapusGileeeee, abis ikut kelas menulis tulisannya langsung jadi begini nih? Bagus banget.
BalasHapusKalau aku malah nggak tahu siapa Agustinus Wibowo. Aku bahkan baru beli bukunya setelah ikut kelasnya dan aku baru baca selimut debu. Nggak tahu kenapa kok dalam hati aku bilang, "ini orang kok sepertinya cerdas ya." Makanya aku mau ikut kelas dia dan berlanjut dong ke kelas keduanya. Ahahaha
Non Fiksi kreatif, menuliskan cerita Nonfiksi dengan gaya bahasa tulisan fiksi. Keren emang materinya Mas Agustinus ini. Aku belajar bagaimana membuat tema, menulis premis, menciptakan kontemplasi dan akhirnya mebuliskan tulisan.
Semoga aku terus haus belajar deh biar bisa terus memperbaiki kualitas tulisan.
:)
Waaa,, masa sih? Makasih ya Darius.
HapusAku udah lama baca bukunya dan kagum banget sama pengalamannya. Asiknya, dia pinter nulisinnya. Penasaran dong dengan cerita di balik layarnya. Ternyataaaa,,, luar biasa.
Kita ketemu di kelas lanjutan yaaa.
Semoga aku juga selalu dilimpahi rasa penasaran biar belajar terus.
Pengen ikut kelasnya Cak Agustinus tapi belum sempet-sempet. Walau basic-ku wartawan tapi kayaknya mesti recharge ilmu menulis, apalagi dari org kayak Mas Agustinus.
BalasHapusBtw, di patjarmerah bukan mbak kelasnya? Itu berapa kali pertemuan?
Iyes,, yang kelasnya Mas Agus di Patjar Merah.
HapusAku baru ikut kelasnya yang pertama, trus ini mau lanjut ikutan kelas yang kedua.
Wah, ternayta mengasyikkan banget ya ikutan jalan2 virtual kayak gini. AKu juga mau ah kapan2. Apalagi kita jadi terinspirasi untuk menulis cerita perjalanan lebih ciamik :) Rasanya kalau traveling ga jadi tulisan tuh sayaaaaang banget ya. Selain untuk diri sendiri, berbagi pengalaman buat pembaca itu keren deh.
BalasHapusAku malah belum pernah nyoba ikut jalan-jalan virtual, belum tertarik.
HapusYang aku ikutin kelas menulis mbak. Kaya belajar di satu kelas tapi jarak jauh. Materinya soal menulis cerita perjalanan.
Menarik juga ya, berguru langsung ke pakarnya. Malah enak zaman pandemi gini, bisa belajar dari rumah. Mau juga nih, belajar menulis kisah perjalanan. Apa kiat-kiatnya supaya menarik...
BalasHapusYa bu, ada postifnya efek pandemi ini. Jarak bukan jadi soal untuk duduk di kelas idaman.
HapusKalau boleh tahu apa nama kelas onlinenya? Jadi penasaran juga pengen deh ikutan, kayanya seru. Via zoom atau hanya wag aja, Mbak kelasnya. Saya juga dulu pernah ikutan kelas travel writing gitu. Menarik banget dan alhamdulillah ilmunya kepake, biar nulis juga makin bermanfaat buat orang lain.
BalasHapusHai mbak Lia. Aku ikut kelasnya di Patjar Merah untuk kelas mas Agus dan kelas Kaizen Writing-nya mbak Dee yang diadakan mbak Dee sendiri.
HapusSepertinya kelas menulis di Patjar Merah akan ada rutin mbak. Cek aja medsos-nya Patjar Merah. Nggak cuma kelas menulis perjalanan, ada kelas-kelas menulis yang lain juga.
Sebuah keberuntungan bisa bergabung di kelas menulis yang didalamnya terdapat para pakar yang bisa menginspirasi kita lebih berkembang
BalasHapusyasss. Semoga ilmunya bisa diamalkan
HapusYa Ampun iri banget, kapan ya aku nya dapat kesempatan begtu :')
BalasHapusCek aja media sosial dari penulis favorit mbak, atau patjar merah. Aku dapat info dari situ.
HapusHi kak Dini, terima kasih udah berkunjung ke blogku. Salam kenal ya 😊
BalasHapusAku baru pertama mampir ke sini dan aku suka sama gaya penulisan kakak yang enak banget dibacanya, ademmm 😆
Btw, aku waktu kemarin mau ikutan kelas Dee Lestari yang diadakan oleh BI tapi telat tahunya jadi nggak kedaftar. Sedih :(
Padahal pasti bermanfaat banget kelas seperti ini meskipun via virtual, apalagi gratis yang kelas kemarin 😂
Jadi, kakak ada berniat menulis fiksi kah? Hihihi.
Makasih Liaaaa. Duh, terbang nih baca komenmu.
HapusSayang banget missed kelasnya mbak Dee,, apalagi gratis :p
Aku belum pede lhi nulis fiksi. Nulis blog dari pengalaman sendiri dulu.
Eh si kakak malah terbang! Kalau gitu, hati-hati di jalan kak 🤣
HapusIya sayang banget karena baru tahu h-1, syedih. Semoga nanti ada kesempatan lainnya 😆
Semangat kak Dini dalam menulisnya ya. Keep inspiring 😍