membaca kata hati di sam po kong

Siang itu panas seperti biasanya. Matahari tampaknya sedang bersuka belakangan ini. Dengan ditemani keriaan sang surya, aku melalui jalanan aspal Semarang yang memantulkan kehangatan sang mentari. Warna merah klenteng menambah aura ceria. Baiklah apa yang kita dapat hari ini. Aku pun memarkir motor dan dengan mantap melangkahkan kaki.


Tidak seperti dulu, ketika namanya belum dikenal luas. Untuk menikmati keindahan klenteng Sam Po Kong, kami harus menukar 3000 IDR untuk tiket masuk, ditambah tiket penitipan motor 1000 IDR atau 3000 IDR bila bawa mobil. Kalau mau menikmati klentengnya langsung (masuk lebih dalam) kami harus rela menukar 20000 IDR. Tak habis akal, aku menyatakan mau sembahnyang pada pak satpam. Pak satpam mempersilakan kami untuk beli hio di toko depan. Kutukar 10000 IDR untuk hio. Kami pun masuk dengan tenang.

Saat menukar hio, si ibu penjual berkata, "bila mau bertanya, bisa berdoa di dua klenteng dari total tiga klenteng. klenteng pertama adalah dewa bumi. atau klenteng ketiga, sam po kong.".


Di tempat dewa bumi, kami melihat ada orang yang mengacungkan hio ke udara. Mengucap doa. Kemudian menggerakan hio ke atas ke bawah beberapa kali. Ah, cara manusia memang berbeda-beda. Aku pun mengucap doa pada Sang Empunya. Suasana hening. Kubakar hio tadi 3biji dan kuletakkan di tempatnya, seperti orang tadi.

Klenteng ketiga, sam po kong, lebih besar dan megah. Seorang engkok tidur-tiduran menikmati siang. Hawa disini memang lebih menyenangkan dan adem dengan semilir angin yang sepoi-sepoi. Kulihat ada orang lagi yang melakukan ritual kurang lebih sama. Aku ikut menggumamkan doa pada Yang Kuasa dan menaruh 3 hio lagi di sana.

Kudengar suara 'ocrok-ocrok' di sudut satunya. Di depan Gua Batu tampak seseorang sedang mengocok kaleng yang berisi beberapa lidi bernomor. Dia menunggu lidi itu jatuh. Satu saja. Bila ada dua atau lebih lidi yang jatuh maka dia mengambilnya dan mengulang mengocok kaleng. Akhirnya satu lidi bernomor 17 jatuh ke tanah. Dia pun mengambil benda berwarna merah dan hitam berbentuk mirip bumerang. Melemparnya ke udara. Dan menemukan si bumerang tersebut jatuh ke tanah. Satu jatuh berwarna merah, yang lain jatuh berwarna hitam. Berarti jawabannya sudah ditemukan.


Dia datang untuk bertanya, haruskah ia pergi atau tetap tinggal. Dia menuju laci, mengmbil kertas no.17. Membacanya sendiri rupanya kurang memuaskan. Engkok pun ditanya untuk membantu membaca arti kertas no.17. Jawabannya seperti kata hatinya, tidak perlu pergi.

Ah, ocrok-ocrok tadi hanya penegasan. Sebenarnya hati sudah berbicara duluan. Namun, kadang kita tidak bisa membacanya dengan pasti. Ah, opini. Semua orang punya pilihannya sendiri-sendiri. 


Komentar

Postingan Populer