Welcome to Siem Reap

"Welcome to Siem Riep!"

Kata-kata selamat datang langsung terdengar begitu roda pesawat menyentuh landasan pacu bandara. O yeah! Salah satu bucket list akhirnya siap dicoret dari daftar. Angkor Wat dan Angkor temple lainnya adalah alasan utama aku travelling ke Siem Riep, Kamboja.


Begitu masuk ke arrival hall, aku langsung antri di bawah tulisan ASEAN paspor. Aku perhatikan banyak turis yang mengantri untuk Visa On Arrival. Kalo paspor ASEAN sih jelas bebas visa. 

Aku nggak perlu menunggu terlalu lama. Cap imigrasi Kamboja mendarat dengan mulus di paspor ijo kesayangan. Unlocked satu negara baru lagi. Yeay!

Hari itu aku sudah bersiap-siap untuk bertemu tindakan scamming, copet di sepanjang jalan, pengemis dan jualan kemiskinan. Dari ulasan rata-rata travel blog, banyak peringatan tentang hal-hal kurang menyenangkan begini.

Bener nggak?
Let's see.

Dari Bandara Siem Reap menuju Downtown.


Aku diarahkan untuk naik taksi bandara oleh petugas. Sebenernya ada pilihan untuk naik ojek (untuk 1 orang penumpang), remorks/tuktuk (untuk 2 orang penumpang), mobil van (untuk jumlah penumpang yang lebih banyak), dan taksi (untuk 4 orang penumpang). Aku sendiri datang bertiga, jadi kami menggunakan taksi. Tarifnya 10 USD hingga downtown.


Biasanya di dalam taksi, turis akan ditawarin jasa sewa mobil oleh sopir taksi. Kalo naik tuktuk juga sama. Kami juga. Sepanjang perjalanan dari bandara menuju downtown, sopir kami berusaha menjual jasa pada kami.

Namanya Nak. Orangnya masih muda, ganteng dan bahasa Inggrisnya pinter. Sayangnya kok ya lupa foto sama dia.

Seperti sapaan standar driver ke penumpang turisnya, Nak nanyain,

"Is it your first time?"
"What is your plan?"

Rencana travelling di Siem Reap



Yes, ini adalah kali pertama kami menginjakkan kaki ke Siem Riep, Kamboja. Kami nggak punya fix itinerary, tapi sudah mencatat beberapa tempat tertentu untuk didatangi selama travelling di Siem Reap.

Selain Angkor Wat dan Angkor temple lainnya, tempat-tempat seperti Angkor Silk Farm, floating village di Tonle Sap, dan Angkor National Museum masuk ke dalam daftar.

Setelah berkendara kurang lebih 15-20 menit, akhirnya kami sampai juga di Visoth Villa, tempat kami menginap selama 3 malam di Siem Reap. Lokasinya persis di downtown Siem Reap. Visoth Villa ini mendapat review lebih dari 8 di booking(dot)com.

Downtown Siem Reap


Meskipun downtown, pusat kota, tapi jalanan Siem Reap cenderung seperti jalan kampung kalau di Jawa. Di kanan kiri nggak ada trotoar, malah ada debu kasar dari tanah. Jalan aspalnya nggak mulus. Lebarnya cuma seluas dua mobil.

Pada kedatangan kami yang pertama pagi itu di Siem Reap, pemandangan sepanjang jalan itu terkesan jelek, kayak Indonesia jadul. Bukannya lihat cafe-cafe lucu seperti yang ada di video perjalanan para vlogger di Siem Reap, aku malah lebih banyak lihat ruko dan pasar.

Kesan jadul dan kuno tentang Kamboja makin lengkap dengan keadaan, nggak ada listrik di Siem Reap.

Listrik padam seharian di Siem Reap


Ternyata hari itu seluruh Provinsi Siem Reap sedang ada pemadaman listrik. Ada pemadaman bergilir dari Thailand.

Iya, Thailand. Dan ya, kamu sedang membaca cerita travelling-nya Dinilint ke Kamboja.

Jadi, listrik di Kamboja dibeli dari Thailand. Semua listrik di Kamboja, berasal dari Thailand.

Kamboja punya sungai besar, punya air terjun, terpapar matahari sepanjang musim, dan aku rasa Kamboja punya sumber-sumber energi lain yang bisa diolah menjadi listrik.

Kenapa nggak mengolah sumber daya di negeri sendiri untuk dijadikan listrik? Ini kan udah tahun milenial?

Baik Nak maupun ibu pemilik villa bercerita kalau pemerintah mereka tidak mau membangun infrastruktur untuk listrik sendiri. Jadi ya, semua tergantung sama negara tetangga. Listriknya beli di tetangga.

Cerita Kamboja


Datang ke Kamboja dan berbincang dengan warga lokal, membuat kami sedikit banyak tahu bahwa kondisi politik di Kamboja nggak menyenangkan. Kamboja adalah negara kerajaan, tapi yang berkuasa penuh adalah perdana menteri.

PM saat ini sudah menjabat untuk jangka waktu yang sangat lama, dan tidak berencana untuk melepas jabatan. Dia berencana menjabat sebagai PM sampai mati, dan akan menurunkan kekuasaannya pada anaknya.

"Adakah pemilu Kamboja untuk memilih perdana menteri?"

Ada. Tapi nggak bermakna.
Pemilu di sana adalah untuk memilih partai. Tapi, kalau ada partai yang punya calon PM baru, lawan PM lama yang berkuasa, maka partai tersebut akan bubar setelah masa pemilu lewat. Bukan cuma bubar, ketua partainya kemungkinan besar akan hilang.

"Aku pun bertanya-tanya, apa kabar rakyat Kamboja? Apa mereka senang dengan keadaan di negaranya?"

Kabarnya, beberapa rakyat yang ingin perubahan politik yang lebih baik, pernah mengadakan demonstrasi di Phnom Penh. Demokrasi itu akan berakhir dengan penembakan. Tentu saja, tembak di kepala orang-orang yang berdemo.

Kehidupan masyarakat Kamboja, sangat dipengaruhi dari kebijakan pemimpinnya. Pemimpin yang haus kekuasaan, bahkan tidak ingin meninggalkan kekuasaan, membuat segala keputusan diambil berdasarkan kepentingan penguasa.

Mendengar cerita begini, aku jadi bersyukuuuuuuuur banget tinggal di Indonesia. Aku bisa memilih presidenku sendiri tiap 5 tahun sekali. Aku punya pilihan. Aku bisa merayakan pesta demokrasi. Tapi, aku juga turut ambil bagian untuk menentukan nasib bangsa Indonesia di masa depan.

Aku cuma tinggal 4 hari di Kamboja, tepatnya di Siem Reap. Tapi di waktu sesempit itu aku merasakan betapa menyedihkannya tinggal di Kamboja.

Emosi


Kalau biasanya tiap kali travelling ke tempat baru, aku selalu excited dan merasa happy, kali ini ada berbagai emosi yang aku rasakan. Antara kesal, kasihan, nggak berdaya.

Hari itu kami sempat main ke floating village di Tonle Sap.

Tonle Sap ini semacam sungai besar, airnya coklat. Untuk mencapai floating village, kami harus naik kapal. Satu orangnya 25 USD. Yang jaga orang-orang berwajah preman yang nggak ada ramah-ramahnya.

Pas sampai di floating village, kami menemukan rumah-rumah yang mengambang di atas air yang keruh. Kami diajak nongkrong di salah satu warung yang mengambang.

Di sana kami bertemu ibu-ibu dan beberapa anak kecil dalam satu perahu kecil. Ada satu anak lagi yang menggunakan ember cuci, mengambang di atas air. Kabarnya, si bapak meninggal karena memancing di Tonle Sap.


Entah bagaimana caranya memancing, yang jelas mereka tahu hal itu berbahaya dan bisa membuat mereka meninggal. Tapi mereka nggak punya pilihan. Kalau tidak cari ikan, mereka tidak bisa makan.

Bahkan di perahu si ibu dan anak-anaknya itu ada ular. Gunanya untuk ditawarkan ke turis, sebagai properti foto. Ibu dan anak itu dapat ular dari hutan bakau di sekitar Tonle Sap.

Nggak cuma itu. Si ibu terang-terangan meminta-minta sedekah pada turis yang datang. Dia memamerkan anaknya yang kurus kering.

Ini nggak cuma satu ibu dan anak-anaknya lho. Saat low season kemarin, saat sepi, ada dua perahu berisi anak dan ibu, yang menjual kemiskinan mereka.

Buat mereka, ini hal biasa.

Buat aku, perjalanan ke Siem Reap, Kamboja, di hari pertama cukup menguras energi.

Terima kasih sudah bersedia baca cerita perjalananku ke Kamboja. Apalagi ini bukan cerita perjalanan yang indah. Di cerita ini juga nggak ada itinerary, keterangan menginap di mana di Siem Reap, apalagi tentang indahnya Angkor Wat. Cerita-cerita itu, akan aku tulis di post terpisah. Sekali lagi, terima kasih sudah membaca, atau cuma numpang lewat aja.

Dinilint

Komentar

  1. Satu catatan penting dari perjalanan ini adalah: listrik Kamboja bersumber dari Thailand. Padahal banyak sumber dayanya :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sedih ya.
      Bikin bersyukur banget tinggal di Indonesia.

      Hapus
  2. informasinya detail banget, semoga bisa menginjakan kaki ku ke kamboja - http://www.langkahdody.com -

    BalasHapus
  3. Duh..trenyuh bacanya, Din.. Oya, ini perjalanan dg ibu kemarin ya? Senang ya Din, bisa mengajak ibu jalan bersama .. semoga beliau sehat selalu..

    BalasHapus
  4. Perasaan nano-nano baca ini. Menguras emosi, ya. Paling sebel kalau kalau kemiskinan dijadikan modal untuk mengais rejeki.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini juga perjalanan dengan emosi nano-nano buat aku mbak.

      Hapus
  5. Kalau bicara soal kebebasan berpolitik dan berbicara di Asia Tenggara, Indonesia juaranya. Apapun kata orang soal hoax dan medsos, orang Indonesia sebetulnya cerdas dan sangat terlatih untuk mengelola informasi yang didapat. Jadi semua info yang berseliweran di medsos juga cuma bikin heboh, tapi tidak menggoyang negara. Makanya kalau saya jalan-jalan di kawasan Asia Tenggara, sebisa mungkin saya nggak bicara politik. Takut nggak bisa pulang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau tahu begini, bersyukur banget ya tinggal di Indonesia.
      Tapi aku tetep nggak suka dengan orang-orang yang nyebarin hoax.
      Semoga Indonesia damai selalu, masyarakat makin cerdas. Amin.

      Hapus
  6. Yaampun, baca cerita listrik beli dari negara tetangga itu kok sedih ya 😢
    Beneran ikut bersyukur tinggal di Indonesia jadinya 😬

    BalasHapus
  7. Listrik beli dsri Thailand?
    Wah, kalau ada jonflik dengan Thailand, siap-siap aja nggak ada listrik terus ya.


    Siem Reap ini juga salah satu destinasi yang aku mau tuju di ASEAN. Thanks sudah berbagi ya :)

    BalasHapus
  8. Aku ke SR cuma ke Angkor Wat, dong. Besok paginya langsung pergi lagi.

    BalasHapus
  9. Wah baru pertama baca info dari blog post ini bahwa kamboja import listrik dari Thailand. Memang sayang banget ya. Padahal mereka mempunyai semua sumber daya. Untung Indonesia tidak berpikir seperti itu. Hajat hidup orang banyak kok diserahkan pada negara lain?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak. Aku pun kaget dengernya.
      Inilah gunanya pemimpin, membuat kebijakan. Nah, kebijakannya untuk golongan tertentu atau untuk rakyat banyak.
      Bersyukur, di tanah air ini punya pemimpin yang mikirin rakyatnya.

      Hapus
  10. Sedih ya kisahnya btw semoga bisa kesana juga kak

    BalasHapus
  11. Aku ikut sedih jadinya. Bersyukur meski tinggal di Cianjur dengan sinyal tidak stabil dan listrik byar pet tapi kami bisa hidup normal dengan pemerintahan yang selalu berusaha kerja untuk memperbaiki. Gak kebayang kami kalau hidup di Kamboja...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga infrastruktur di Cianjur cepat terbangun dengan baik ya mbak.

      Hapus
  12. Sedih banget ya mereka ga bisa produksi listrik sendiri. Ketergantungan sama Thailand

    BalasHapus
  13. Baca tulisanmu, aku jadi atret menuliskan Kamboja dalam bucket list hehehe. Masih lebih mendingan Vietnam dibanding Kamboja, ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tiap negara punya keunikan sendiri yang nggak dimiliki negara lain mbak.
      Yang aku tulis di sini cuma sisi lain aja. Sisi menyenangkan dari Kamboja dan Siem Reap juga banyak kok. Beberapa udah aku tulis di post sebelum ini. ;)

      Hapus
  14. Wah jalan-jalan dengan Ibu ya Din, aku nelangsa baca cerita nelayan itu, kok ngenes banget huhu...semoga ada yang bisa bantuin ya :(

    BalasHapus
  15. waah... masih ada sisa2 perang saudara di Kamboja ya.., masih ada yg punya kekuasaan lebih dominan dari yang lainnya
    apa uang negara nggak cukup untuk bangun PLTU/PLTA ya..,
    thanks ya Din buka mataku lebih lebar tentang Kamboja

    BalasHapus
  16. Iya benar. Kamboja ini sistem politiknya lebih parah dari zaman orde baru. Masih otoriter. Itulah mengapa warganya kurang berani membahas isu2 kenegaraan dan isu politik. Miris ya?

    Siemreap itu selain kota candinya yang menarik, fakta yang aku tarik kesimpulannya Ia kota turis rasa Amerika. Dusty, dan untung aja makanannya lumayan enak beberapa. Buah segar juga murah.

    BalasHapus
  17. Aku jdi sedij liat khidupan mreka di sana. Apa lagi ibu n anaknya. Yg mnjadikan kmiskinan cra mreka mncari uang

    BalasHapus
  18. Cerita soal Kamboja memang menyedihkan banget, Mbak Dini. Kebetulan banget sepulang dari Kamboja 2018 saya nemu buku Survival in the Killing Fields karangan Haing Ngor, pemeran Dith Pran dalam film the Killing Fields. Pengarangnya bukan dia, tapi wartawan Amerika. Isinya cerita Ngor waktu Pol Pot dan Khmer Merah berkuasa tahun 70-an dulu, soal kamp kerja paksa, penyiksaan, dsb. Bikin bergidik, Mbak, membacanya. Sedih juga tahu bahwa sampai sekarang mereka masih kayak belum bebas.

    Saya suka banget tulisan ini. Kasual tapi getir. Orang-orang perlu tahu bahwa ada manusia di apa yang mereka bilang "destinasi wisata."

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sedih ya. Kayaknya aku nggak kuat deh baca buku begitu, atau sekarang belum mau aja. Masih kebayang atmosfer Siem Reap pas aku ke sana sampe sekarang nulis komen ini.

      Makasih ya udah baca tulisan ini dan ternyata ada yang suka.

      Hapus

Posting Komentar

Thank you for reading and leaving comment :)

Postingan Populer