Antara Kupang, Ende, dan Moni

Buat kami saat itu, transit sehari di Kupang sudah lebih dari cukup. Ternyata,, cuaca berkata lain. Kami dipaksa berdiam lebih lama di Kupang.


Seharusnya pagi itu menjadi kali kesekian untuk aku bangun ekstra pagi demi mengejar pesawat jam 6 pagi. Tapi mataku baru terbuka sekitar jam 7 pagi. Rasanya aku malas sekali membuka kain bali yang menjadi selimutku. Handphone ku membunyikan lagu cadas,, meraung-raung minta dipencet, menandakan ini sudah saatnya untuk bangun. Mau tak mau aku harus bergerak seperti bumi yang berputar terus menerus selama 24 jam seharian.


Seharusnya kami sudah tiba di Ende jam 7 pagi. Tapi apa daya. Cuaca buruk memaksa kami untuk menunda keberangkatan menjadi jam 14 nanti siang. Pagi di Kupang dingin. Di luar sana hujan sedang turun sejak semalam. Demi menghemat tenaga dan malas berhujan-hujanan sepagian itu kami cuma meringkuk di kamar.

Saat hendak mempersiapkan diri, kami baru tahu satu kejadian di Kupang, tak ada air. Hujan di luar sudah berhenti, yang artinya kami bahkan tidak bisa menampung air hujan. Urusan mandi bisa ditunda, tapi acara pipis, pup, dan sikat gigi, bagaimana cara menundanya. Kelimpungan, bau jigong, dan keringat dingin bercampur jadi satu. Aku lupa bagaimana kami melewati hari itu. Yang kuingat, ketika bertemu Bandara El Tari yang airnya melimpah aku bersorak!

Pesawat ATR (lupa yang tipe apa) Merpati yang kami tumpangi mendarat mulus di Bandara Ende. Kalau aku bilang pesawat kecil ini mirip bus. Tempat duduknya 2-2. Sepanjang perjalanan aku cuma lihat laut, laut, laut, laut. Bahkan pada saat hendak mendarat aku hanya melihat laut. Tahu-tahu pesawat sudah memutar rodanya di landasan saja. Barulah aku bertemu Bandara Ende yang tidak seberapa besar.

Berhubung tiba di Ende jam 15, kami pilih untuk segera berangkat ke desa Moni. Semestinya bila kita berkunjung ke Ende kita bisa main ke rumah pengasingan Soekarno, taman perenungan Soekarno, mmm apalagi ya,, kalo tidak salah ada sentra tenun kain Flores atau semacamnya.

Berdasarkan informasi dari Ilham, ada beberapa alternatif pilihan untuk menuju Moni dari Bandara Ende. Aku pilih yang keluar dulu dari bandara (tadinya aku pikir keluarnya bakal jauh, ternyata keluar dari Bandara Ende itu cuma jalan kaki lurus sekitar 300m) ke arah perempatan untuk cari angkutan atau ojek atau orang baik atau apalah untuk antar kami ke pangkalan travel. Saat berjalan kami sempat ditanya-tanya dengan seorang bapak yang lagi nyetir mobil yang ngaku orang pariwisata. Dia minta kami tunggu di perempatan jalan. Ternyata di perempatan ada posko polisi. Daripada nunggu kayak orang ilang, kami tanya ke bapak-bapak polisi. Ternyata si pak polisinya ramah-ramah. Mereka bantu kami cari ojek, sebut 5000 rupiah untuk bayar ke pangkalan travel, sekaligus wanti-wanti si tukang ojek 'kalo tidak ketemu travelnya kamu harus bawa mereka balik kesini'. Whoaaa,,, Flores asik sekali.

Di pangkalan travel sudah berjajar mobil-mobil sejenis kijang yang akan melayani trayek Ende - Maumere, lewat Moni pastinya. Kalau menurut Ilham, harga travelnya sekitar 20000-40000, tergantung kegigihan menawar. Pas kami tanya, si bapak buka harga 70000. Apaaaa,,,. Bapak itu nggak sendirian, bapak-bapak  yang lain ikut angguk-angguk mengiakan. Aku pun nawar. Akhirnya kami mesti bayar 50000. Kami disuruh tunggu dulu sambil si bapak tunggu penumpang lain. Nah, pas nunggu, kami ketemu Itin, teman baru yang asli Moni. Itin sedang dalam perjalanan pulang dari Kupang ke Moni dalam rangka pulang kampung saat libur kuliah. Itin cuma bayar 30000 untuk travel ke Moni. Huhuhuhu. Kami kena tipu-tipu orang yang manfaatin kalo kami turis. Nyebelin banget.

Sempat ada rasa was-was, waspada kalo-kalo kami kena tipu lagi ketika kami harus pilih penginapan di Moni nanti. Hasil ngobrol-ngobrol dengan Itin, Itin membantu kami untuk cari penginapan dengan harga bersahabat. Kami diminta untuk berhenti di depan Penginapan Aryanti. Biayanya 150000 semalam. "Kalau sudah sampai sms ya kak", pesan Itin. Itin dan kami naik travel yang berbeda untuk menuju Moni.

Perjalanan menuju Moni ternyata berliku-liku. Pemandangan seperti di buku-buku dongeng; lembah, jurang, air terjun di pinggir jalan, mulai nampak di kanan kiri. Pak sopir memutar lagu Flores yang rancak menghentak-hentak dengan keras. Di jalanan berliku seperti itu, pak sopir yang aku rasa sangat hapal tiap tikungan bisa memacu kendaraannya sampai 80 km/jam. Aku deg-degan, Nia malah tidur karena mabuk darat. 

Setelah melewati 1,5 jam dikocok dalam mobil travel melewati jalanan berliku tajam dalam kecepatan cepat, akhirnya kami sampai di desa Moni. Tadi di tengah perjalanan kami sempat mampir ke suatu desa. Ternyata si travel ini menjemput satu bapak, satu ibuk, dan dua anak perempuan kecil beserta barang bawaan sangat banyak, semacam mau pindahan rumah. Keluarga ini sedang dalam perjalanan pulang dari rumah orang tua dalam rangka natalan ke rumah mereka yang benar. Woah,, mantap sekali mereka kalo pulang kampung. Di Moni, sesuai dengan saran Itin, kami minta diturunkan di depan Losmen Aryanti. Barusan kami keluar dari pintu travel, ada bapak sudah menyambut kami. Eh iya,, kalo di Flores kita sebutnya bapa. Kami digiring ke kamar yang sudah disiapkan. Yeay.

Kamar kami di Losmen Aryanti ini berlebih kalo menurut saya. Kami yang cuma berdua dapat satu bungalow dengan kapasitas 4 orang. Kamarnya bersih, kamar mandi di dalam dan banyak air. Whoaaa,,, semoga malam ini nggak dingin.

Kami harus berjalan sedikit demi menemukan makanan. Kira-kira 100 meter kami jalan, kami menemukan cafe Bintang. Kami harus naik melalui beberapa anak tangga. Pemandangan langit senja yang berwarna oranye menemani kami menanti makan pagi sekaligus makan siang sekaligus makan malam. Kapan lagi dapat pemandangan seru begini, pas hujan-hujan, pas udara dingin, sambil nyeruput kopi Flores yang mantap. Nyam nyam.

Kira-kira,, besok ada hal menyenangkan apalagi ya??
Dinilint

Komentar

Postingan Populer