Travelling di Masa Pandemi. Bijak Tidak?
Sudah hampir setahun sejak pandemi mulai mewabah di Indonesia, dan dunia. Waktu yang cukup lama untuk kita, manusia, punya kebiasaan baru untuk beradaptasi dengan dunia yang berubah sangat cepat akibat pandemi.
Pola makan lebih sehat, rajin cuci tangan, pakai masker ke mana-mana, minum jamu dan suplemen, tidak berjabat tangan dan lebih banyak diam di rumah jadi kebiasaan-kebiasaan baru yang sudah lekat dalam kehidupan sehari-hari.
Tapi dasarnya manusia, diam di rumah dan melakukan segala jenis kegiatan di dalam rumah sepertinya bukan hal yang mudah.
Apalagi bagian travelling dari rumah, hmmmm. Masalahnya pandemi belum berhenti, apakah bijak memaksakan diri untuk pergi ke luar rumah, berinteraksi dengan banyak orang, dan travelling?
Nggak mudah, nggak murah
Aku juga harus siap konsekuensi kalau-kalau tertular virus; siap untuk menjalani karantina lama dan siap dengan segala prosedurnya. Ribet yak? Kalo nggak mau ribet ya udah di rumah aja.
Travelling di masa pandemi, buat aku jadi kebutuhan, sedang buat sebagian orang menilai ini adalah perilaku ignorance. Tapi seperti yang sudah aku jelasin di atas, aku sudah siap ribet dan siap menerima konsekuensi untuk travelling di masa pandemi. Aku pun berusaha maksimal untuk tidak ambil bagian menyebarkan virus.
Wajib sehat!
Salah satu anjuran dari pemerintah untuk para traveler yang rindu travelling adalah memastikan saat travelling kamu dalam kondisi sehat optimal. Aku pun memastikan tubuhku sehat optimal sebelum memutuskan untuk travelling selama 3 hari 2 malam.
Aku memilih destinasi lokal di Jawa Tengah, karena aku tinggal di Semarang. Aku pergi bersama 15 kawan, menyewa 2 mobil Hi Ace dan memastikan kapasitas mobil sudah berkurang 50% sesuai anjuran pemerintah.
Selama kegiatan travelling, masker selalu dipakai dan hand sanitizer selalu siap sedia baik di kantong, tas, hingga di dalam mobil. Mobil Hi Ace yang kami pakai pun menyiapkan sekotak besar masker kalau-kalau ada yang maskernya bermasalah dalam perjalanan.
Perlengkapan sehat di dalam Hi Ace |
Jaga jarak
Perjalanan kami dimulai dari Semarang pada pagi hari. Jelang siang kami berhenti di RM Dewani, Wonosobo. RM Dewani ini merupakan rumah makan baru di rute jalan antara Semarang-Wonosobo. Desain ruang yang menarik, view pegunungan, udara segar, dan makanan enak. Selain itu RM Dewani juga menyediakan meja panjang dan besar untuk rombongan kami, sehingga saat makan kami tetap menerapkan protokol kesehatan jaga jarak (physical distancing).
Interior Dewani Resto yang memungkinkan untuk menjaga jarak |
Pandemi dan pariwisata yang mati
Dengan ditemani hujan kami melanjutkan perjalanan ke Dieng. Dieng sendiri sempat menutup diri untuk pejalan dan wisatawan sejak Maret 2020, pada masa awal pandemi. Aktivitas ekonomi Dieng yang bertumpu pada sektor wisata lumpuh. Kini, Dieng mulai menata ruang dan menerapkan protokol kesehatan, sehingga mampu menyambut siapa saja yang sudah kangen dengan suasana Dieng yang cuma ada di Dieng saja.
Dataran Tinggi Dieng |
Ventilasi dan sirkulasi
Berhubung hujan, aktivitas kami hari itu dilakukan di area indoor. Meski di dalam ruangan, tapi ventilasi ruangan di Rumah Budaya Dieng, tempat kami beraktivitas sangat bagus. Ya, gedung di Dieng nggak butuh AC, jadi ada banyak jendela yang menyebabkan sirkulasi udara dalam ruangan di sana bagus. Potensi penyebaran virus jelas berkurang.
Di Rumah Budaya Dieng kami belajar cara membuat souvenir wayang batik. Salah satu oleh-oleh khas Dieng ini ternyata rumit juga pembuatannya. Kami harus menggoreskan cat ke atas wayang Semar secara perlahan, tapi juga harus yakin saat menyapukan cat dan membuat gambar. Buatku, ada beberapa titik yang beleber dan bikin berantakan. Ahahaha.
Wayang Semar dengan batik yang aku lukis sendiri ^^ |
Wayang batik sudah sempurna karena punya tangan, carica, dan lukisan kayu sebagai oleh-oleh khas dari Dieng. |
Kami juga diajak melihat pembuatan carica, salah satu oleh-oleh khas Dieng. Carica sendiri hanya bisa hidup di Dieng yang merupakan dataran tinggi. Proses pembuatannya pun nggak gampang, ada proses mengupas, mencuci, memberi gula yang kemudian jadi pengawet alami, hingga fermentasi. Proses lengkapnya pernah aku tulis di Proses Pembuatan Carica Dieng.
Tempe dan tahu kemul yang awet dibawa pulang |
Kegiatan kami hari itu diakhiri dengan makan malam sambil ditemani iringan live music dari Kailasa Band, band yang berisi anak-anak Dieng. Tiap tahun Dieng punya hajatan Dieng Culture Festival di mana ada acara Jazz Atas Awan. Selain mengundang artis jazz nasional, acara ini juga memacu anak muda Dieng yang punya potensi menampilkan musik apik. Terbukit Kailasa Band main musik dengan apik dan asik.
Band anak muda Dieng yang sepanggung dengan musisi nasional macam Letto |
Selain dihibur musik asik dari Kailasa, kami juga berkesempatan menonton sendratari dengan iringan gamelan yang dimainkan secara live, bukan rekaman. Tari yang ditarikan adalah Tari Lengger Topeng, salah satu tarian khas Dieng yang konon merupakan tarian sakral. Tarian ini menceritakan kisah cinta Putri Sekartaji dan Panji Asmoro Bangun. Kalau nggak salah mengartikan, tarian ini merupakan cerita tentang macam-macam sifat manusia yang diibaratkan dengan topeng yang beraneka rupa dan kesetiaan.
Salah satu topeng yang ikut menari di Tari Lengger Topeng |
Menghindari kerumunan, memilih tempat sepi, datang lebih pagi
Sebenarnya aku berencana untuk bangun pagi, nonton sunrise sambil nyeruput kopi dari teras homestay. Sayang, saat aku keluar kamar, matahari sudah bersinar cerah. Untuk mengobati kekecewaan, aku pilih jalan kaki ke area sekitar homestay.
Nggak jauh dari homestay aku menemukan Candi Gatotkaca yang masih sepi banget. Ini salah satu tips travelling di masa pandemi, hindari kerumunan dengan datang lebih pagi. Biasanya objek wisata cenderung lebih sepi saat pagi.
Ada sekitar 400 candi yang ditemukan di area Dieng. Candi-candi di Dieng dibangun oleh umat Hindu dari kasta Brahmana pada abad ke-7. |
Hari itu itinerary kami adalah naik jeep untuk mengunjungi Telaga Dringo, Kawah Sikidang, dan Candi Arjuna. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan dataran tinggi Dieng yang luar biasa indah. Di kanan kiri jalan ada bukit-bukit dengan terasering dari kebun warga yang menghijau dan segar. Tiap melongok ke teras rumah warga pasti ada tanaman-tanaman hias cantik yang saat ini banyakk diburu warga kota. Pemandangan warga yang sedang sarapan ramai-ramai di kebun mereka juga seru. Kebetulan cuaca pagi itu cerah, langit sangat biru, matahari bersinar cerah.
Kawah ini suka berpindah-pindah dengan membentuk lompatan layaknya kijang, Itulah mengapa namanya Kawah Sikidang. |
Telaga Dringo merupakan objek wisata baru hasil eksplorasi Dieng area Banjarnegara, Bisa dinikmati dari pinggir telaga atau dari atas bukit seperti ini. |
Kompleks candi terbesar di Dieng, Candi Arjuna |
Meski jalanan di Dataran Tinggi Dieng penuh dengan tikungan dan naik turun, namun akses jalan untuk menuju ke tiap objek wisata sudah bagus banget; jalanan mulus, nggak bolong, beraspal, dan muat untuk papasan dua mobil.
Akses jalan di Dieng yang sangat memungkinkan untuk membawa kendaraan pribadi |
Kalau bosan jalan di jalanan mulus seperti di kota, kamu juga bisa uji nyali dengan ikut off road di sekitar Kawah Sikidang. Menembus jalanan tanah penuh lumpur jadi salah satu alternatif seru dan pastinya nggak perlu berkerumun karena mobil jeep untuk off road cuma muat untuk 3-4 penumpang. Hal ini bukan berarti akses jalan ke Kawah Sikidang jelek, karena ada juga jalan untuk mobil normal menuju Kawah Sikidang.
Yang mau jeep tour di Dieng bisa kontak Pak Tri di 085291239990 (bisa wa) |
Tempat wisata boleh buka bila ada ijin dari Satgas Covid
Kalau tempat wisata sudah buka, berarti emang pemerintah menilai travelling di masa pandemi nggak masalah ya. Well, nggak semua tempat wisata boleh beroperasi di masa pandemi. Objek wisata boleh dibuka harus mendapat rekomendasi persetujuan Satgas Covid.
Objek wisata ini punya fasilitas untuk pelaksanaan protokol kesehatan seperti tersedianya
- fasilitas untuk cuci tangan,
- ada pengecekan suhu tubuh saat masuk tempat wisata,
- lokasi di alam yang ventilasinya bagus, dan
- sangat memungkinan bagi pengunjung untuk menjaga jarak.
Ada 424 tempat wisata di Jateng yang sudah menerapkan protokol kesehatan selain Telaga Dringo, Kawah Sikidang, dan Candi Arjuna dan 60 lainnya menyusul untuk segera dibuka. Nggak cuma di Dieng aja, Posong di Temanggung juga sudah buka dan siap dijelajahi.
Itinerary longgar, stamina terjaga
Dari Dieng kami lanjut ke Posong di Temanggung. Kami menginap semalam di Posong, dan di hari ke-3 kami menjelajah Posong habis-habisan. Itinerary kami terkesan longgar dan santai ya. Ini salah satu tips travelling di masa pandemi:
itinerary yang tidak terlalu padat, demi menjaga stamina sehingga imun kuat dan tetap sehat.
Iya, semalam dan sehari untuk menjelajah Posong memang waktu yang pas. Keisitimewaan Posong adalah pemandangannya yang luar biasa. Kalau beruntung, kamu bisa melihat tujuh gunung dari satu tempat. Aku kemarin cuma bisa lihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing saling berhadapan. Di sepanjang lereng gunung juga banyak tanaman tembakau dan kopi yang membuat pemandangannya makin menarik.
Di Posong bisa menginap di tenda seperti di gambar, atau di rumah penduduk. Untuk sewa tenda Rp 700,000 per tenda, muat 7 orang. |
Main ke kebun kopi dan tembakau di Posong |
Meski kopi Temanggung langganan ekspor, tapi pandemi juga berpengaruh ke industri kopi. Jumlah permintaan kopi menurun drastis karena tidak ada permintaan. Semua pihak memang terkena imbas pandemi dan yang paling parah memang industri pariwisata.
Makan sehat dan seimbang juga jadi pertimbangan untuk travelling di masa pandemi. Rata-rata makanan kami berisi sayur-mayur, lauk, dan karbohidrat. |
Travelling-ku kali ini atas undangan Disporapar Jateng dalam rangka mengikuti rangkaian Jateng On The Spot 2020. Kami diajak merasakan penerapan adapatasi kebiasaan baru di tempat wisata. Penerapan protokol kesehatan sendiri sangat mungkin dilakukan, tentu saja dilakukan bersama-sama baik pengelola tempat wisata, pelaku wisata, dan traveller seperti kita-kita ini.
Buat aku travelling ke alam sangat signifikan untuk memperbaiki mood, re-charge energi, dan bikin semangat lagi.
Ada syarat yang harus dipenuhi untuk melaksanakan travelling bersama Disporapar Jateng;
- harus sehat, yang dibuktikan dengan surat sehat dari instansi kesehatan
- rombongan terbatas
- harus menerapkan protokol kesehatan; pakai masker, rajin cuci tangan, jaga jarak
Terima kasih Disporapar Jateng, pelaku wisata Jawa Tengah, dan teman-teman semua. Semoga pandemi segera pergi, pariwisaata bangkit lagi. |
Setuju tentang liburan memilih tempat yang sepi. Atau wisata alam yang sudah memenuhi syarat menerapkan protokol kesehatan. Selama bulan Agustus hingga sekarang, aku udah 2 kali memilih wisata alam dan pengunjung bisa dihitung dengan jari.
BalasHapusCerita yang keren dari satu perjalanan bareng teman-teman ya
Aku juga suka ceritanya Bu Wati. Meski satu kegiatan, tapi sudut pandangnya beda-beda dan ekskusinya berbeda yaaa.
HapusThank God juga karena sekarang sudah banyak alternatif tempat wisata, terutama wisata alam yang mengandalkan indahnya alam Indonesia. Jadi pejalan punya banyak pilihan mau eksplorasi yang mana.
Saya rasa sah-sah saja kalau mau travelling di masa pandemi, selama bisa patuh dengan protokol kesehatan dan bertanggung jawab pada kesehatan personal diri kita, why not untuk ke luar. Karena kesehatan mental kita pun perlu dijaga, and some people, butuh jalan-jalan untuk menjaganya. Hehehehe :D
BalasHapusSetuju sama yang mba Dinilint bilang, akan lebih baik untuk pergi wisata ke alam terbuka, karena kesempatan agar dapat sosial distancing lebih besar. Semoga Corona bisa segera musnah, dan kita bisa kembali beraktivitas normal tanpa perlu merasa was-was <3
Yes, kesehatan mental juga perlu diperhatikan. Kalau terlalu fokus pada corona, malah pikirannya ke arah ke sana. Padahal peristiwa digerakkan oleh pikiran, state of mind.
HapusAku juga kangen banget beraktivitas seperti dulu, nggak perlu deg-degan, semprot sana-sini berkali-kali, dan kangen salaman sambil cupika cupiki.
Belakangan ini aku dan suami juga lagi sering ngomong pengen liburan, road trip ke Jawa atau sekalian pulang mengunjungi orangtuaku di Bali. Namun, memikirkan kondisi aku yang sedang hamil dan ada anak di bawah lima tahun, aku jadi berpikir ulang terus untuk melakukan trip ini. Sebetulnya kami berdua udah kepingin banget liburan. Suami yang jenuh dengan kerjaan, aku dan anak yang di rumah aja. Kalau nggak ada si corona, kami udah pasti cusss berangkat 😅 karena situasinya lagi seperti ini, pertimbangannya jadi banyak sekali. Betul yang Dini bilang, kalau nggak mau kena resiko ya di rumah aja, kalau mau liburan ya harus siap jaga kesehatan dan amit-amit tertular.
BalasHapusWisata ke alam terbuka ini memang good idea yaa. Dan sepertinya memang ini yang lagi lakuuu sekarang ini. Mungkin banyak orang yang sadar juga akan sirkulasi udara di tengaj pandemi, sehingga mereka cari destinasi alam.
Terima kasih untuk tulisannya ini, Dini! Dieng cantik bangettt, btw!
Dilema emang ya, antara udah bosen tapi kalo mau pergi-pergi juga banyak yang perlu dipertimbangkan. Kalau pun pengen pergi ya inget aja prinspi durasi-ventilasi-jarak. Misal di tempat tujuan ternyata rame, ya udah balik kanan dan cari alternatif lain.
HapusAku juga penganut pertemuan dengan sinar matahari. Aku selalu ingat bahwa si virus langsung mati kalau kena sinar matahari. Jadi kalau wisata alam selain sirkulasi udaranya baik, ada sinar matahari. Beruntung kita tinggal di Indonesia yang sinar mataharinya selalu ada tiap hari.
Aku sepakat dengan komentar Kak Eno. Asal tetap memperhatikan protokol kesehatan dan tidak berkerumun, masih oke kalau ingin travelling :D asal juga siap dengan konsekuensinya.
BalasHapusAnyway, dataran tinggi Dieng ini cantik banget pemandangan-pemandangannya ya, Kak Din 😍. Aku suka sekali melihatnya! Apalagi Candi Arjuna yang dilihat dari ketinggian, cantik sekaliii.
Semoga suatu saat aku bisa ke Dieng 😭
Aku juga setuju dengan kamu Lia, protokol kesehatan tetap harus jalan dan siap-siap dengan kemungkinan terinfeksi.
HapusDieng emang dari dulu begitu, bikin kangen balik lagi dan lagi. Semoga suatu hari kamu bisa menikmati Dieng secara langsung yaa.
Iya tentu tiap stakeholder harus menjaga protokol kesehatan supaya risiko penyebaran Corona bisa ditekan. Harus bijak-bijak sih kalau mau traveling di masa pandemi seperti ini.
BalasHapusMelihat foto-foto dari kak Lint bikin aku mupeng jalan-jalan wisata alam di Dieng >.< Cuakep tenan dan bisa belajar bikin wayang juga yaak. Sungguh menarik. Mungkin suatu hari aku bisa jalan-jalan ke sana juga hehehe
Iyaa, pandemi ini bakal cepet pergi kalau kita semua bekerja sama untuk mencegah penyebaran virusnya.
HapusSemoga suatu hari kamu juga bisa jalan-jalan di Dieng ya. Alamnya memang memesona, dari sudut mana aja.
Aku juga berpendapat sah-sah aja orang mau travelling di saat pandemi, karena keadaan begini pasti bikin stres dan beberapa orang butuh jalan-jalan untuk menghilangkan stres. Menurutku ga ignorance asal tetap memperhatikan kesehatan dan lingkungan yang didatengin dan mengikuti protokol kesehatan. Kayak yang Kak Dini bilang, harus mau ribet, kalo ga mau ribet ya di rumah aja hehehe.
BalasHapusAku bukan orang yang hobi travelling sih, tapi udah lama pengin ke Dieng deh.. Aku suka banget lihat candi. Dan jadi inget carica itu asalnya dari Dieng yaa? Aku suka banget itu manisan carica :D
Iyaaa,, for some people getting into nature, meeting new people and new condition bikin stress relieve dan re-charge energi positif. Tapi emang kalo masa pandemi ada keribetan yang perlu dipikirkan.
HapusWah Eya udah makan carica tapi belum nyampe Dieng. One day you will come to Dieng. Amin.
Terlalu lama berdiam diri di rumah memang bukan pilihan yang tepat. seseorang juga perlu beraktivitas di luar ruangan. Bisa untuk olahraga atau mungkin liburan. Kalau mau liburan harus memperhatikan protokol kesehatan.
BalasHapusSetuju banget, di saat seperti ini memang harus menghindari keramaian orang. Bagi yang suka tempat sepi, tentu saja hal ini bukanlah hal susah :D
Aku terkahir ke dieng itu beberapa tahun yang lalu. sudah lama sekali.
tapi kalau posong baru tahun lalu dari sana. Pemandangan sunrise di posong memang salah satu yang terbaik di jawa tengah.
Aku malah kemarin nggak ketemu sunrise karena hujan. Kayaknya aku harus ngulang main ke Posong, pengennya malah camping sekalian.
HapusHahaha,, yang nggak suka rame kayak aku malah seneng main pas pandemi, wisatawannya cenderung lebih sedikit. Tapi ya pinter-pinter juga buat pilih tempat yang sepi.
Yaa, menurutku sah-sah saja untuk bertravelling di masa seperti ini, mbak. Apabila daerah itu aman dari covid, tak masalah. Seperti yg mbak nya jabarkan td, yg penting jaga jarak, pake masker, cuci tangan, patuhi protokol...
BalasHapusDi sisi lain, yaa beneer sih. Ekonomi terdampak. Parah banget. Dengan kita ber-travelling, setidaknya membantu menggerakkan roda perekonomian warga tersebut..
Pendapat kita sama yaaa. Tossss.
HapusBener, ada ekonomi yang bergerak ketika kita travelling.
Setuju banget Mbak.
BalasHapusSaya pun sebelum traveling harus mastiin dulu kalo badan lagi sehat.
Kemudian perginya pun nggak jauh-jauh.
Jaga diri dan orang-orang di sekitar yak.
Hapusaku terakhir kali ke Dieng sekitar tahun 2002 ��
BalasHapusmeski traveling tidak dilarang, aku memutuskan untuk membatalkan seluruh rencana traveling karean situasi yang seperti ini. apalagi di Eropa kini masuk gelombang kedua, yang mana angka penyebarannya lebih tinggi dari pertama.
untungnya waktu pelonggaran kemarin, aku sempat refreshing sejenak mengunjungi beberapa event di Berlin, yang masih memungkinkan.. namun tentu saja, semua orang berpikir yang sama dan akhirnya pada berkumpul di tempat yang sama. ujung-ujungnya sih kita sendiri yang menilai, apakah cukup aman atau tidak..
stay safe, dan sehat selalu!
Ah terima kasih untuk pendapatnya mas. Emang semuanya balik ke diri sendiri ya. Yang jelas harus paham konsekuensinya.
HapusStay safe dan sehat selalu mas Zam!
Wah kak dinilint traveling ke Dieng ya. Kenapa aku ngga diajak kak, padahal pengin banget kesana.😂
BalasHapusMemang traveling saat pandemi seperti ini agak was-was, tapi yang penting kondisi tubuh sehat, bawa perlengkapan kesehatan, jaga jarak maka sepertinya oke oke saja ya. Lagi pula kasihan tempat wisata kalo ditutup terus, masyarakat sekitarnya tidak ada pendapatan.
Wow cantik banget dataran tinggi Dieng, selain cantik juga banyak sekali candinya ya, sampai 400 candi lagi. 😀
Tenang mas Agus, Diengnya nggak pergi kok, masih di situ-situ aja lokasinya. Kayaknya untuk berpuluh tahun kemudian Dieng masih eksis di situ.
HapusYes, travelling di masa pandemi emang beda dibanding di masa sebelum pandemi. Intinya jangan sampe tertular dan jadi agen penularan si virus.
Btw, ayo mas ke Dieng!
Kalau saya sih bikin simpel, tetap taati protokol kesehatan, mencari tempat yang sepi, kalau pas ramai tinggal mlipir pulang atau tiduran saja di penginapan. Selain itu, dolan pun gak berombongan dalam satu kendaraan.
BalasHapusSetuju bang! Emang paling bener cari yang sepi dan siap-siap melipir kalo lihat kerumunan orang.
HapusAku belum jalan jauh lagi nih selama pandemi. Masih dalam kota sendiri aja yang gak banyak orang.
BalasHapusDuh, aku jadi pengen ke Bengkulu
HapusItu lucu banget sih ada tahu bulat yang kayanya kriuk banget, hihi. Suka deh aku lihat foto-fotonya, jadi berasa ikut jalan-jalan. Jujur aku belum berani pergi jauh, kemarin cuma sempat staycation saja sebentar. Mungkin tahun depan, sudah kangen dengan jalan-jalan di alam terbuka tanpa harus mikir di sana rame apa gak :)
BalasHapusAsik banget tuh Wisata Ke Dieng. Saya selama ini cuman pernah ngerasain Carica Khas Dieng aja yang dibawain sodara abis traveling dari sana. Semoga ada kesempatan buat kesana ya...
BalasHapusMelihat foto pemandangan alam Dieng di sini, langsung kangeeeen sama Dieng. Thx Din, penuturan cerita perjalananmu selalu asyik kunikmati..
BalasHapusBaca postinganmu tentang Dieng, jadi tambah menggebu berkunjung ke sana. Doakan bisa terealisasi, aamiin.
BalasHapusMenurut saya, untk wisata alam seperti Dieng ini, boleh-boleh saja didatangi selama tempat tersebut menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Artinya mereka harus bisa menyaring wisatawan yang akan masuk benar-benar sehat. Habis kalau ditutup terus ya gimana dong, ekonomi mati juga sama bahayanya dengan covid itu sendiri
BalasHapusYaiksss Din foto2nya bagus amattt sihhh. Bikin ngiriii. Aku terpaksa menunda jalan-jalanku di akhir tahun nih gegara pandemi huhuhu.
BalasHapusSemoga lekas hilang dari muka bumi nih pandemi.
Kalau menurut saya berwisata di masa pandemi tetap bisa dilakukan asal tetap mematuhi protokol kesehatan dan melihat status daerah yang hendak dikunjungi. Saya pribadi memilih wisata alam lokal. Biar aman dan leluasa jaga jarak. Lihat sungai atau hamparan sawah, lumayanlah untuk halau kejenuhan.
BalasHapusKalau sudah dibiasakan saat di rumah dan lingkungan kerja, sepertinya protokol kesehatan ini gak bakalan ribet kalau diterapkan saat traveling juga. Kalau tidak bepergian untuk wisata kasihan juga mereka yang bekerja di sektor ini banyak yang menganggur.
BalasHapusIya memang lebih ribet persiapan dan saat piknik banyak aturan yang harus dipatuhi, tapi tak mengapa yang penting tetap sehat ya Din
BalasHapusdududu senengnya jalan-jalaaan...
BalasHapusKalau traveing sementara ini memang katanya bagusan di tempat yg outdoor dan kalau bisa cari yang sepi, gak perlu ke tempat viral, yg penting bisa keluar sejenak refresh mata dan pikiran.
Trus kalau bisa malah gak usah berombongan banyak org, sekeluarga atau satu dua teman menurut saya sih cukup.
Samaa mbak, buat aku & suami, traveling sebagai sarana memperbaiki mood & recharge energi. Makanya kami juga berani repot & semilih2 itu untuk rekreasi lagi.
BalasHapusSo far baru berani staycation aja.. Karena sama-sama berdiam diri judulnya. Jadi ganti suasana aja yang penting, bukan suasana rumah melulu.
Sedang mempertimbangkan ke alam terbuka, tapi takut rame ��
Kalau masalah jalan jalan, saya pikir kembali ke individunya. Bijak atau tidak berbau subyektif.
BalasHapusKadang kalau di tempat wisata, meski kita sudah menerapkan prokes, seringkali banyak juga yang abai. Resiko berwisata sekarang lebih besar dari sebelumnya.
Hasilnya juga bukannya senang dan nyaman, tapi juga ketidaknyamanan.
Kalau saya sendiri sih, pilih cara aman karena mau tidak mau harus memperhitungkan keluarga. Semua kegiatan luar rumah yang "tidak penting" menurut saya ditunda dulu, sampai situasi lebih kondusif.
Tapi, saya tidak menyalahkan mereka yang mau pergi karena kebutuhan setiap orang berbeda.
Traveling di masa pandemi sah-sah saja kok. Yang penting jalankan protokol kesehatan, dan seperti yang mba Din bilang, harus dalam kondisi sehat optimal. Aku juga udah beberapa kali bepergian selama pandemi kok. Udah entah berapa kali tangan ini ditusuk diambil darah untuk tes Covid-19, sampe lupa. Intinya, protokol kesehatan dan always pray without ceasing.
BalasHapusBtw, itu pemandangan Dataran Tinggi Dieng dramatis sekali. Suka banget